NAMA : ANGGA PRIYAMBADA
NPM : 28211642
KELAS : 4EB08
TUGAS JURNAL
SUATU TINJAUAN
ASIMETRI INFORMASI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP MANAJEMEN LABA
Oleh;
Tri Handayani Amaliah
Dosen Akuntansi FEB
UNG
Abstrak
Tulisan ini mencoba memberikan
paparan deskriptif tentang asimetri informasi serta implikasinya terhadap
manajemen laba. Dengan asumsi bahwa individu-individu bertindak untuk
memaksimalkan kepentingan diri sendiri, maka dengan informasi asimetri yang
dimilikinya akan mendorong agent untuk menyembunyikan beberapa informasi yang
tidak diketahui principal. Dalam kondisi yang asimetri tersebut, agent dapat
mempengaruhi angka-angka akuntansi yang disajikan dalam laporan keuangan dengan
cara melakukan manajemen laba.
Salah satu cara yang digunakan
untuk memonitor masalah kontrak dan membatasi perilaku opportunistic manajemen
adalah corporate governance. Prinsip-prinsip pokok corporate governance yang
perlu diperhatikan untuk terselenggaranya praktik good corporate governance
adalah transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability), kewajaran
(fairness), dan responsibilitas (responsibility), independensi (independency).
Corporate governance diharapkan dapat meminimalkan tindakan manajemen laba.
Kata kunci : Asimetri informasi, manajemen
laba, dan corporate governance.
Pendahuluan
Jensen dan Meckling (1976)
menyatakan bahwa hubungan keagenan sebagai suatu kontrak antara manajer selaku
agent dengan pemilik sebagai principal perusahaan. Principal memberikan
kewenangan dan otoritas kepada agent untuk menjalankan perusahaan demi
kepentingan principal.
Dalam hubungan keagenan terjadi
pemisahan kepemilikan antara pemilik perusahaan (principal) dan pengelola
perusahaan (agent). Dengan pemisahan ini, pemilik perusahaan memberikan
kewenangan pada pengelola untuk mengurus jalannya perusahaan, seperti mengelola
dana dan mengambil keputusan perusahaan lainnya untuk dan atas nama pemilik.
Dengan kewenangan yang dimiliki ini, mungkin saja pengelola tidak bertindak yang
terbaik untuk kepentingan pemilik karena adanya perbedaan kepentingan (conflict
of interest) antara pemilik dan pengelola. Diasumsikan bahwa pemilik dan
pengelola cenderung berusaha untuk memaksimumkan kesejahteraan masing-masing
sehingga ada kemungkinan jika pengelola tidak selalu bertindak demi kepentingan
terbaik dari pemilik (Jensen dan Meckling, 1976).
Manajer selaku agent mengetahui
informasi internal lebih banyak mengenai perusahaan dibandingkan dengan
principal, sehingga manajer harus memberikan informasi mengenai kondisi
perusahaan kepada pemilik. Informasi yang disampaikan oleh manajer terkadang
tidak sesuai dengan kondisi perusahaan yang sebenarnya karena manajer cenderung
untuk melaporkan sesuatu yang memaksimalkan utilitasnya. Keadaan yang seperti
ini dikenal dengan asimetri informasi yang dapat memberikan kesempatan kepada
manajer untuk melakukan praktik manajemen laba (earning management)
(Richardson, 1998 dalam Wardhana, 2009).
Asimetri informasi yang terjadi
antara manajemen (agent) dengan pemilik (principal) memberikan kesempatan
kepada manajer untuk bertindak oportunis, yaitu demi memperoleh keuntungan
pribadi (Ujiyanto, 2007). Asimetri informasi inilah yang kemudian menjadi
pemicu munculnya praktik manajemen laba di perusahaan. Asimetri informasi ini
dapat dikurangi dengan cara transparansi dalam penyampaian laporan keuangan
terhadap principal. Praktik manajemen laba yang memunculkan kasus skandal
pelaporan akuntansi telah banyak terjadi di Indonesia seperti kasus yang
terjadi pada PT. Lippo Tbk. dan PT. Kimia Farma Tbk. yang melibatkan pelaporan
keuangan (financial reporting) yang diawali dengan deteksi adanya praktik
manipulasi (Gideon, 2005). Salah satu penyebab terjadinya kasus-kasus ini
adalah karena lemahnya penerapan praktik corporate governance di Indonesia.
Corporate governance sendiri adalah sebuah
konsep yang didasarkan pada teori keagenan, yang diharapkan dapat berfungsi
sebagai suatu alat untuk memberikan keyakinan kepada para investor bahwa mereka
akan menerima return atas dana yang telah mereka investasikan. Corporate
governance berkaitan dengan bagaimana para investor yakin bahwa manajer akan
memberikan keuntungan bagi mereka, yakin bahwa manajer tidak akan mencuri atau
menggelapkan atau menginvestasikan ke dalam proyek-proyek yang tidak
menguntungkan berkaitan dengan dana (capital) yang telah ditanamkan oleh
investor, dan berkaitan dengan bagaimana para investor mengontrol para manajer
(Saputri, 2009).
Corporate governance diharapkan
dapat meningkatkan kinerja perusahaan melalui pengawasan atau monitoring
kinerja manajemen serta menjamin terciptanya akuntabilitas manajemen terhadap
principal berdasarkan peraturan yang ada. Konsep corporate governance ini pada
intinya menghendaki adanya transparansi yang lebih baik bagi semua pengguna
laporan keuangan yang bila berhasil diterapkan dengan baik secara otomatis akan
meningkatkan kinerja perusahaan.
Sistem corporate governance dapat
memberikan perlindungan terhadap pemegang saham dan kreditor akan investasi
yang telah mereka lakukan. Corporate governance juga dapat menciptakan suatu
kondisi lingkungan yang kondusif yang dapat menunjang terciptanya pertumbuhan
yang efisien. Corporate governance dapat diartikan sebagai suatu susunan aturan
yang menentukan hubungan yang tercipta antara pemegang saham, manajer,
kreditor, pemerintah, karyawan, dan stakeholder internal dan eksternal yang
lain sesuai dengan hak dan tanggung jawabnya (Forum for Corporate Governance in
Indonesia, 2003).
Asimetri informasi yang dapat menimbulkan
praktik manajemen laba mungkin terjadi akibat lemahnya penerapan corporate
governance. Menurut Lins dan Warnock (2004) dalam Yana (2007), secara umum
mekanisme corporate governance yang dapat mengendalikan perilaku manajemen
(dalam hal ini perilaku manajemen yang menyimpang seperti praktik manajemen
laba) dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok.
Kelompok yang pertama adalah
mekanisme internal spesifik perusahaan yang terdiri atas struktur kepemilikan
dan struktur pengelolaan. Kedua adalah mekanisme eksternal spesifik negara yang
terdiri atas aturan hukum dan pasar pengendalian korporat.
Makalah ini berupaya memberikan paparan
tentang topik tersebut dengan mengawalinya melalui pembahasan tentang teori
agensi. Pembahasan selanjutnya mengenai hubungan asimetri informasi terhadap
manajemen laba dan diakhiri dengan corporate governance sebagai upaya untuk
meminimalkan masalah keagenan.
Teori Keagenan (Agency Theory)
Teori keagenan menggambarkan
perusahaan sebagai suatu titik temu antara pemilik perusahaan (principal)
dengan manajemen (agent). Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa hubungan
keagenan merupakan sebuah kontrak yang terjadi antara manajer (agent) dengan
pemilik perusahaan (principal).
Wewenang dan tanggung jawab agent
maupun principal diatur dalam kontrak kerja atas persetujuan bersama. Anthony
dan Govindarajan (1995) dalam Widyaningdyah (2001) menyatakan bahwa konsep
agency theory adalah hubungan atau kontrak yang terjadi antara principal dan
agent. Principal mempekerjakan agent untuk melakukan tugas untuk kepentingan
principal, termasuk pendelegasian otoritas pengambilan keputusan dari principal
kepada agent.
Perspektif hubungan keagenan
merupakan dasar yang digunakan untuk memahami corporate governance. Jensen dan
Meckling (1976) menyatakan bahwa hubungan keagenan adalah sebuah kontrak antara
manajer (agent) dengan investor (principal). Konflik kepentingan antara pemilik
dan agen terjadi karena kemungkinan agen tidak selalu berbuat sesuai dengan
kepentingan principal, sehingga memicu biaya keagenan (agency cost).
Pada perusahaan yang modalnya terdiri atas
saham, pemegang saham bertindak sebagai principal, dan CEO (Chief Executive
Officer) sebagai agent mereka. Pemegang saham mempekerjakan CEO untuk bertindak
sesuai dengan kepentingan principal. Agency theory memiliki asumsi bahwa
masing-masing individu sematamata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri
sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara principal dan agent. Pihak
principal termotivasi mengadakan kontrak untuk menyejahterakan dirinya dengan
profitabilitas perusahaannya yang selalu meningkat.
Salno dan Baridwan (2000)
menyatakan bahwa penjelasan tentang konsep manajemen laba tidak terlepas dari
teori keagenan (agency theory). Teori keagenan menyatakan bahwa praktik
manajemen laba dipengaruhi oleh konflik kepentingan antara manajemen (agent)
dan pemilik (principal) yang timbul ketika setiap pihak berusaha untuk mencapai
dan mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendakinya. Adanya perbedaan
kepentingan antara manajemen dan pemilik tersebut dapat dipengaruhi kebijakan
yang diputuskan manajemen.
Eisenhardt (1989) dalam Ujiyanto dan Bambang
(2007) menyatakan bahwa teori agensi menggunakan tiga asumsi sifat manusia
yaitu: (1) manusia pada umumya mementingkan diri sendiri (self interest), (2)
manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded
rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk averse).
Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut manajer sebagai manusia akan
bertindak opportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya. Agent
termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologisnya,
antara lain dalam hal memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak
kompensasi.
Konflik kepentingan semakin
meningkat terutama karena principal tidak dapat memonitor aktivitas CEO
sehari-hari untuk memastikan bahwa CEO bekerja sesuai dengan keinginan pemegang
saham. Principal tidak memiliki informasi yang cukup tentang kinerja agent.
Agent mempunyai lebih banyak informasi mengenai perusahaan secara keseluruhan.
Hal inilah yang mengakibatkan adanya ketidakseimbangan informasi yang dimiliki
oleh principal dan agent (Nasution dan Doddy, 2007).
Ketidakseimbangan informasi inilah
yang disebut dengan asimetri informasi. Adanya asumsi bahwa individu-individu
bertindak untuk memaksimalkan dirinya sendiri, mengakibatkan agent memanfaatkan
adanya asimetri informasi yang dimilikinya untuk menyembunyikan beberapa
informasi yang tidak diketahui principal. Asimetri informasi dan konflik
kepentingan yang terjadi antara principal dan agent mendorong agent untuk
menyajikan informasi yang tidak sebenarnya kepada principal, terutama jika
informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja agent. Hal ini memacu
agent untuk memikirkan bagaimana angka akuntansi tersebut dapat digunakan
sebagai sarana untuk memaksimalkan kepentingannya. Salah satu bentuk tindakan
agent tersebut adalah yang disebut sebagai earnings management (Richardson,
1998 dalam Wardhana, 2009).
Asimetri Informasi
Laporan keuangan dibuat dengan tujuan
untuk digunakan oleh berbagai pihak, termasuk pihak internal perusahaan itu
sendiri seperti manajer, karyawan, serikat buruh dan lainnya. Pihak-pihak yang
sebenarnya paling berkepentingan dengan laporan keuangan adalah para pengguna
eksternal (pemegang saham, kreditor, pemerintah, masyarakat).
Para pengguna internal (para
manajemen) mengetahui peristiwa-peristiwa yang terjadi pada perusahaan,
sedangkan pihak eksternal yang tidak berada di perusahaan secara langsung,
tidak mengetahui informasi tersebut sehingga tingkat ketergantungan manajemen
terhadap informasi akuntansi tidak sebesar para pengguna eksternal. Salah satu
kendala yang akan muncul antara agent dan principal adalah adanya asimetri
informasi (information asymmetry).
Asimetri informasi adalah suatu
keadaan dimana agent mempunyai informasi yang lebih banyak tentang perusahaan
dan prospek dimasa yang akan datang dibandingkan dengan principal. Kondisi ini
memberikan kesempatan kepada agent menggunakan informasi yang diketahuinya
untuk memanipulasi pelaporan keuangan sebagai usaha untuk memaksimalkan
kemakmurannya.
Asimetri informasi ini
mengakibatkan terjadinya moral hazard berupa usaha manajemen untuk melakukan
earnings management (Rahmawati, dkk. 2006). Menurut Scott (2000), terdapat dua
macam asimetri informasi yaitu:
1) Adverse selection, yaitu bahwa
para manajer serta orang-orang dalam lainnya biasanya mengetahui lebih banyak
tentang keadaan dan prospek perusahaan dibandingkan pihak luar. Dan mungkin
terdapat faktafakta yang tidak disampaikan kepada principal.
2) Moral hazard, yaitu bahwa
kegiatan yang dilakukan oleh seorang manajer tidak seluruhnyadiketahui oleh
investor (pemegang saham, kreditor), sehingga manajer dapat melakukan tindakan
diluar pengetahuan pemegang saham yang melanggar kontrak dan sebenarnya secara
etika atau norma mungkin tidak layak dilakukan.
Schift dan Lewin (1970) dalam
Ujiyanto dan Bambang (2007), menyatakan bahwa agent berada pada posisi yang
memiliki lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja dan
perusahaan secara keseluruhan dibandingkan dengan principal. Dengan asumsi
bahwa individu-individu bertindak untuk memaksimalkan kepentingan diri sendiri,
maka dengan informasi asimetri yang dimilikinya akan mendorong agent untuk
menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui principal. Sehingga
dalam kondisi semacam ini principal seringkali pada posisi yang tidak
diuntungkan.
Dalam penyajian informasi
akuntansi, khususnya penyusunan laporan keuangan, agent juga memiliki informasi
yang asimetri sehingga dapat lebih fleksibel mempengaruhi pelaporan keuangan
untuk memaksimalkan kepentingannya. Tujuan laporan keuangan adalah menyediakan
informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi
keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai laporan
keuangan dalam pengambilan keputusan ekonomi (IAI, 2009). Dengan adanya kondisi
yang asimetri, maka agent dapat mempengaruhi angka-angka akuntansi yang
disajikan dalam laporan keuangan dengan cara melakukan manajemen laba.
Manajemen Laba
Schipper (1989) dalam Sutrisno
(2002) menyatakan definisi manajemen laba adalah suatu intervensi yang memiliki
tujuan tertentu dalam proses pelaporan keuangan eksternal, demi mendapatkan
keuntungan yang sifatnya pribadi seperti diungkapkan. Manajemen laba akan
membuat laba tidak sesuai dengan realitas ekonomi yang ada, sehingga kualitas
laba yang dilaporkan menjadi rendah.
Laba yang disajikan mungkin tidak mencerminkan
realitas ekonomi, tetapi lebih karena keinginan manajemen untuk memperlihatkan
sedemikian rupa sehingga kinerjanya dapat terlihat baik. Setiawati dan Na’im
(2000) menyatakan bahwa manajemen laba merupakan campur tangan dalam proses
pelaporan keuangan eksternal dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri.
Manajemen laba sendiri dapat mengakibatkan berkurangnya kredibilitas laporan
keuangan, menambah bias dalam laporan keuangan dan dapat membuat pemakai
laporan keuangan mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka
laba tanpa rekayasa.
Sugiri (1998) dalam Widyaningdyah
(2001) menyatakan bahwa membagi definisi earnings management menjadi dua,
yaitu:
1. Definisi sempit Earnings
management dalam hal ini hanya berkaitan dengan pemilihan metode akuntansi.
Earnings management dalam artian sempit ini didefinisikan sebagai perilaku
manajer untuk “bermain” dengan komponen discretionary accruals dalam menentukan
besarnya earnings.
2. Definisi luas Earnings management merupakan
tindakan manajer untuk meningkatkan (mengurangi) laba yang dilaporkan saat ini
atas suatu unit dimana manajer bertanggung jawab, tanpa mengakibatkan
peningkatan (penurunan) profitabilitas ekonomis jangka panjang unit tersebut.
Surifah (1999) menyatakan bahwa
manajemen laba akan membuat laba tidak sesuai dengan realitas ekonomi yang ada,
ini berarti kualitas laba yang dilaporkan menjadi rendah. Laba yang disajikan
mungkin tidak mencerminkan realitas ekonomi, tetapi lebih karena keinginan
manajemen untuk memperlihatkan sedemikian rupa atau menutupi realitas yang ada.
Hal ini tidaklah aneh karena tingkat keuntungan atau laba yang diperoleh sering
dikaitkan dengan prestasi manajemen disamping memang adalah suatu hal yang
lazim bahwa besar kecilnya bonus yang akan diterima oleh manajer tergantung
dari besar kecilnya laba yang diperoleh perusahaan.
Tidaklah mengherankan bila manajer sering
berusaha menonjolkan prestasinya melalui tingkat keuntungan atau laba yang
dicapai. Manajemen laba, terlepas dari positif atau negatif, jika dipandang
dari sisi kualitas, akan mengindikasikan kualitas laba yang rendah, sebab laba
tidak disajikan sebagaimana adanya.
Manajemen laba dapat dilakukan oleh
pihak manajemen dengan berbagai cara, seperti melakukan perbedaan pengakuan
pendapatan dan biaya, mempercepat atau menunda pendapatan dan biaya,
menghilangkan atau mengurangi discretionary cost dan lainnya. Menurut Achmad,
dkk (2007), terdapat pernyataan bahwa dalam penerapan akuntansi akrual, prinsip
akuntansi berterima umum memberikan fleksibilitas dengan mengijinkan manajer
untuk memilih kebijakan akuntansi dalam pelaporan laba.
Fleksibilitas ini dimaksudkan agar
manajer dapat menginformasikan kondisi ekonomi sesuai realitanya. Fleksibilitas
prinsip akuntansi inilah yang dapat memberikan peluang bagi manajer untuk
mengelola laba. Manajemen laba merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan
(menurunkan) laba yang dilaporkan saat kini dari suatu unit yang menjadi
tanggung jawab manajer tanpa mengkaitkan dengan peningkatan (penurunan)
profitabilitas ekonomi jangka panjang. Akuntansi akrual terdiri dari
discretionary accruals (DA) dan non discretionary accruals (NDA). DA merupakan
akrual yang ditentukan manajemen (management determined).
Manajer dapat memilih kebijakan
dalam hal metoda dan estimasi akuntansi. NDA sendiri merupakan akrual yang
ditentukan atas kondisi ekonomi (economically determined). Scott (2000)
menyatakan bahwa terdapat beberapa pola dalam manajemen laba, yaitu:
a. Taking a Bath Pola ini terjadi
pada saat pengangkatan CEO baru dengan cara melaporkan kerugian dalam jumlah
besar yang diharapkan dapat meningkatkan laba di masa datang.
b. Income Minimization Pola ini dilakukan pada
saat perusahaan memiliki tingkat profitabilitas yang tinggi sehingga jika laba
pada masa mendatang diperkirakan turun drastis dapat diatasi dengan mengambil
laba periode sebelumnya.
c. Income Maximization Dilakukan
pada saat laba menurun bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi untuk
tujuan bonus yang lebih besar.
d. Income Smoothing Dilakukan
perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan sehingga dapat mengurangi
fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada umumnya investor lebih menyukai
laba yang relatif stabil.
Scott (2000) juga mengemukakan
beberapa motivasi terjadinya manajemen laba, yaitu :
1) Bonus Purposes Manajer yang memiliki
informasi atas laba bersih perusahaan akan bertindak secara oportunistic untuk
melakukan manajemen laba dengan memaksimalkan laba saat ini.
2) The debt covenant hypotesis
Manajemen akan berusaha untuk meningkatkan laba agar tidak melangar perjanjian
kredit yang telah dilakukan serta demi menjaga nama baik dan reputasi mereka.
3) Political Motivations Manajemen
laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan pada perusahaan publik.
Perusahaan cenderung mengurangi laba yang dilaporkan karena adanya tekanan
publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan peraturan yang lebih ketat.
4) Taxation Motivations Motivasi penghematan
pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling nyata. Berbagai metode
akuntansi digunakan dengan tujuan penghematan pajak pendapatan.
5) Pergantian CEO CEO yang mendekati masa
pensiun akan cenderung menaikkan pendapatan untuk meningkatkan bonus mereka.
Dan jika kinerja perusahaan buruk, mereka akan memaksimalkan pendapatan agar
tidak diberhentikan.
6) Initital Public Offering (IPO) Perusahaan
yang akan go public belum memiliki nilai pasar, dan menyebabkan manajer
perusahaan yang akan go public melakukan manajemen laba dalam prospectus mereka
dengan harapan dapat menaikkan harga saham perusahaan.
Setiawati dan Na’im (2000)
menyatakan teknik dan pola manajemen laba dapat dilakukan dengan tiga teknik
yaitu:
a. Memanfaatkan peluang untuk
membuat estimasi akuntansi Cara manajemen mempengaruhi laba melalui judgment
(perkiraan) terhadap estimasi akuntansi antara lain estimasi tingkat piutang
tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap atau amortisasi
aktiva tak berwujud, estimasi biaya garansi, dan lain-lain.
b. Mengubah metode akuntansi
Perubahan metode akunatansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi,
contoh : merubah metode depresiasi aktiva tetap, dari metode depresiasi angka
tahun ke metode depresiasi garis lurus.
c. Menggeser periode biaya atau
pendapatan. Contoh rekayasa periode biaya atau pendapatan antara lain:
mempercepat/menunda pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan sampai pada
periode akuntansi berikutnya, mempercepat/menunda pengeluaran promosi sampai
periode berikutnya, mempercepat/menunda pengiriman produk ke pelanggan,
mengatur saat penjualan aktiva tetap yang sudah tak dipakai.
Asimetri Informasi
dan Manajemen Laba
Teori keagenan menyatakan bahwa
praktik manajemen laba dipengaruhi oleh konflik kepentingan antara manajemen
(agent) dan pemilik (principal) yang timbul ketika setiap pihak berusaha untuk
mencapai dan mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendakinya. Adanya
perbedaan kepentingan antara manajemen dan pemilik tersebut dapat dipengaruhi
kebijakan yang diputuskan manajemen.
Eisenhardt (1989) dalam Ujiyanto
dan Bambang (2007) menyatakan bahwa teori agensi menggunakan tiga asumsi sifat
manusia yaitu: (1) manusia pada umumya mementingkan diri sendiri (self
interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa
mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko
(risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut manajer sebagai
manusia akan bertindak opportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan
pribadinya. Agent termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi
dan psikologisnya, antara lain dalam hal memperoleh investasi, pinjaman, maupun
kontrak kompensasi.
Schift dan Lewin (1970) dalam
Hartono dan Riyanto (1997), menyatakan bahwa agent berada posisi yang mempunyai
lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja dan perusahaan
secara keseluruhan dibandingkan dengan principal. Dengan asumsi bahwa individu-individu
bertindak untuk memaksimalkan kepentingan diri sendiri, maka dengan informasi
asimetri yang dimilikinya akan mendorong agent untuk menyembunyikan beberapa
informasi yang tidak diketahui principal. Sehingga dalam kondisi semacam ini
principal seringkali pada posisi yang tidak diuntungkan.
Manajer sebagai pengelola
perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di
masa yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Oleh karena itu
sebagai pengelola, manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi
perusahaan kepada pemilik. Laporan keuangan dimaksudkan untuk digunakan oleh
berbagai pihak, termasuk manajemen perusahaan itu sendiri. Namun yang paling
berkepentingan dengan laporan keuangan sebenarnya adalah para pengguna
eksternal (diluar manajemen).
Laporan keuangan tersebut penting
bagi para pengguna eksternal terutama sekali karena kelompok ini berada dalam
kondisi yang paling besar ketidakpastiannya (Ali, 2002). Para pengguna internal
(para manajemen) memiliki kontak langsung dengan entitas atau perusahannya dan
mengetahui peristiwa-peristiwa signifikan yang terjadi, sehingga tingkat
ketergantungannya terhadap informasi akuntansi tidak sebesar para pengguna
eksternal. Situasi ini akan memicu munculnya suatu kondisi yang disebut sebagai
asimetri informasi (information asymmetry). Yaitu suatu kondisi di mana ada
ketidakseimbangan perolehan informasi antara pihak manajemen sebagai penyedia
informasi (prepaper) dengan pihak pemegang saham dan stakeholder pada umumnya
sebagai pengguna informasi (user).
Dalam penyajian informasi
akuntansi, khususnya penyusunan laporan keuangan, agent juga memiliki informasi
yang asimetri sehingga dapat lebih fleksibel mempengaruhi pelaporan keuangan
untuk memaksimalkan kepentingannya. Tujuan laporan keuangan adalah menyediakan
informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi
keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai laporan
keuangan dalam pengambilan keputusan ekonomi (IAI, 2002). Namun karena adanya
kondisi yang asimetri, maka agent dapat mempengaruhi angka-angka akuntansi yang
disajikan dalam laporan keuangan dengan cara melakukan manajemen laba.
Corporate Governance
Corporate governance merupakan salah satu
konsep yang dapat dipergunakan dalam meningkatkan efesiensi ekonomis, yang
meliputi serangkaian hubungan antara manajemen perusahaan, dewan direksi, para
pemegang saham dan pemangku kepentingan perusahaan lainnya. Corporate
governance juga memberikan suatu struktur yang memfasilitasi penentuan
sasaran-sasaran dari suatu perusahaan, dan sebagai sarana untuk menentukan
teknik monitoring kinerja.
Watts (2003), menyatakan bahwa
salah satu cara yang di gunakan untuk memonitor masalah kontrak dan membatasi
perilaku opportunistic manajemen adalah corporate governance. Berkaitan dengan
masalah keagenan, corporate governance yang merupakan konsep yang didasarkan
pada teori keagenan, diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk memberikan
keyakinan kepada para investor bahwa mereka akan menerima return atas dana yang
telah mereka investasikan.
Dengan kata lain corporate governance
diarahkan untuk mengurangi asimetri informasi antara principal dan agent yang
pada akhirnya dapat menurunkan tindakan manajemen laba (Ujiyanto dan Bambang,
2007). Hingga saat ini masih ditemui definisi yang bermacam-macam tentang Good
Corporate Governance atau GCG. Namun umumnya mempunyai maksud dan pengertian
yang sama.
Forum for Corporate Governance in
Indonesia atau FCGI (2000) dalam publikasi yang pertamanya mempergunakan
definisi Cadbury Committee, yaitu: "seperangkat peraturan yang mengatur
hubungan antara pemegang saham,pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur,
pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya
yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu
sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan." Disamping itu FCGI
juga menjelaskan, bahwa tujuan dari Corporate Governance adalah untuk
menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders).
Komite Nasional Kebijakan
Governance atau KNKG (2006) menyatakan bahwa setiap perusahaan harus memastikan
bahwa prinsip-prinsip pokok GCG diterapkan pada setiap aspek bisnis dan di
semua jajaran perusahaan. Prinsip-prinsip pokok tersebut adalah :
1) Transparasi (Transparency) Untuk
menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan
informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami
oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk
mengungkapkan tidak hanya masalah yang diisyaratkan oleh peraturan
perundangundangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan
oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.
2) Akuntabilitas (Accountability)
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan
wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai
dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang
saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang
diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.
3) Responsibilitas (Responsibility)
Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan
tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara
kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good
corporate citizen.
4) Independensi (Independency)
Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara
independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan
tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.
5) Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness) Dalam
melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan
pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan
kesetaraan.
Shleifer dan Vishny (1997) dalam Ujiyanto dan
Bambang (2007) menyatakan bahwa corporate governance yang merupakan konsep yang
didasarkan pada teori keagenan, diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk
memberikan keyakinan kepada para investor bahwa mereka akan menerima return
atas dana yang telah mereka investasikan.
Corporate governance berkaitan
dengan bagaimana para investor yakin bahwa manajer akan memberikan keuntungan
bagi mereka, yakin bahwa manajer tidak akan menggelapkan atau menginvestasikan
ke dalam proyek-proyek yang tidak menguntungkan berkaitan dengan dana/kapital
yang telah ditanamkan oleh investor, dan berkaitan dengan bagaimana para
investor mengontrol para manajer. Dengan kata lain corporate governance
diharapkan dapat berfungsi untuk menekan atau menurunkan biaya keagenan (agency
cost).
Dalam FCGI (2000) mekanisme Corporate
Governance meliputi :
A.
Dewan komisaris
Dewan Komisaris dalam KNKG (2006) diartikan sebagai organ perusahaan yang
bertugas dan bertanggungjawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan
memberikan nasihat
kepada Direksi serta memastikan bahwa perusahaan
melaksanakan GCG. Namun demikian, Dewan Komisaris tidak boleh turut serta dalam
mengambil keputusan operasional. Kedudukan masing- masing anggota Dewan
Komisaris termasuk Komisaris Utama adalah setara.
Tugas Komisaris Utama adalah mengkoordinasikan kegiatan
Dewan Komisaris. Agar pelaksanaan tugas Dewan Komisaris dapat berjalan secara
efektif, perlu dipenuhi prinsip-prinsip berikut:
o Komposisi Dewan Komisaris harus memungkinkan
pengambilan keputusan secara efektif, tepat dan cepat, serta dapat bertindak
independen.
o AnggotaDewan Komisaris harus profesional, yaitu
berintegritas dan memiliki kemampuan sehingga dapat menjalankan fungsinya
dengan baik termasuk memastikan bahwa Direksi telah memperhatikan kepentingan
semua pemangku kepentingan.
o Fungsi pengawasan dan pemberian nasihat Dewan
Komisaris mencakup tindakan pencegahan, perbaikan, sampai kepada pemberhentian
sementara.
Komposisi, Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Dewan
Komisaris :
a. Jumlah anggota Dewan Komisaris harus disesuaikan
dengan kompleksitas perusahaan dengan tetap memperhatikan efektivitas dalam
pengambilan keputusan.
b. Dewan
Komisaris dapat terdiri dari Komisaris yang tidak berasal dari pihak
terafiliasi yang dikenal sebagai Komisaris Independen dan Komisaris yang
terafiliasi. Yang dimaksud dengan terafiliasi adalah pihak yang mempunyai
hubungan bisnis dan kekeluargaan dengan pemegang saham pengendali, anggota
Direksi dan Dewan Komisaris lain, serta dengan perusahaan itu sendiri. Mantan
anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang terafiliasi serta karyawan perusahaan,
untuk jangka waktu tertentu termasuk dalam kategori terafiliasi.
c. Jumlah Komisaris Independen harus dapat menjamin
agar mekanisme pengawasan berjalan secara efektif dan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Salah satu dari Komisaris Independen harus mempunyai latar
belakang akuntansi atau keuangan.
d. Anggota Dewan
Komisaris diangkat dan diberhentikan oleh Rapat Umum Pemegang Saham ( RUPS )
melalui proses yang transparan. Bagi perusahaan yang sahamnya tercatat di bursa
efek, badan usaha milik negara dan atau daerah, perusahaan yang menghimpun dan
mengelola dana masyarakat, perusahaan yang produk atau jasanya digunakan oleh
masyarakat luas, serta perusahaan yang mempunyai dampak luas terhadap
kelestarian lingkungan, proses penilaian calon anggota Dewan Komisaris
dilakukan sebelum dilaksanakan RUPS melalui Komite Nominasi dan Remunerasi.
Pemilihan Komisaris Independen harus memperhatikan pendapat pemegang saham
minoritas yang dapat disalurkan melalui Komite Nominasi dan Remunerasi.
e. Pemberhentian
anggota Dewan Komisaris dilakukan oleh RUPS berdasarkan alasan yang wajar dan
setelah kepada anggota Dewan Komisaris diberi kesempatan untuk membela diri.
Fungsi Pengawasan Dewan Komisaris
1. Dewan Komisaris tidak boleh turut serta dalam
mengambil keputusan operasional. Pengambilan keputusan tersebut dilakukan dalam
fungsinya sebagai pengawas, sehingga keputusan kegiatan operasional tetap
menjadi tanggung jawab Direksi. Kewenangan yang ada pada Dewan Komisaris tetap
dilakukan dalam fungsinya sebagai pengawas dan penasihat.
2. Dalam hal diperlukan untuk kepentingan perusahaan,
Dewan Komisaris dapat mengenakan sanksi kepada anggota Direksi dalam bentuk
pemberhentian sementara, dengan ketentuan harus segera ditindaklanjuti dengan
penyelenggaraan RUPS.
3. Dalam hal
terjadi kekosongan dalam Direksi atau dalam keadaan tertentu untuk sementara
ewan Komisaris dapat melaksanakan fungsi Direksi.
4. Dalam rangka
melaksanakan fungsinya, anggota Dewan Komisaris baik secara bersama-sama dan
atau sendiri-sendiri berhak mempunyai akses dan memperoleh informasi tentang
perusahaan secara tepat waktu dan lengkap.
5. Dewan Komisaris harus memiliki tata tertib dan
pedoman kerja (charter) sehingga pelaksanaan tugasnya dapat terarah dan efektif
serta dapat digunakan sebagai salah satu alat penilaian kinerja mereka.
6. Dewan Komisaris dalam fungsinya sebagai pengawas,
menyampaikan laporan pertanggungjawaban pengawasan atas pengelolaan perusahaan
oleh Direksi, dalam rangka memperoleh pembebasan dan pelunasan tanggung jawab
(acquit et decharge) dari RUPS.
7. Dalam melaksanakan tugasnya, Dewan Komisaris dapat
membentuk komite. Usulan dari komite disampaikan kepada Dewan Komisaris untuk
memperoleh keputusan. Bagi perusahaan yang sahamnya tercatat di bursa efek,
perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan yang menghimpun dan mengelola dana
masyarakat, perusahaan yang produk atau jasanya digunakan oleh masyarakat luas,
serta perusahaan yang mempunyai dampak luas terhadap kelestarian lingkungan,
sekurang-kurangnya harus membentuk Komite Audit, sedangkan komite lain dibentuk
sesuai dengan kebutuhan.
B. Komite audit
Dalam FCGI (2000) dinyatakan bahwa Komite Audit
memiliki tugas terpisah dalam membantu Dewan Komisaris untuk memenuhi tanggung
jawabnya dalam memberikan pengawasan secara menyeluruh. Sebagai contoh, Komite
Audit memiliki wewenang untuk melaksanakan dan mengesahkan penyelidikan
terhadap masalah-masalah di dalam cakupan tanggung jawabnya. Jumlah anggota
Komite Audit harus disesuaikan dengan kompleksitas perusahaan dengan tetap
memperhatikan efektifitas dalam pengambilan keputusan.
Bagi perusahaan yang sahamnya tercatat di bursa efek,
perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan yang menghimpun dan mengelola
dana masyarakat, perusahaan yang produk atau jasanya digunakan oleh masyarakat
luas, serta perusahaan yang mempunyai dampak luas terhadap kelestarian
lingkungan, Komite Audit diketuai oleh Komisaris Independen dan anggotanya
dapat terdiri dari Komisaris dan atau pelaku profesi dari luar perusahaan.
Salah seorang anggota memiliki latar belakang dan
kemampuan akuntasi dan atau keuangan. Komite audit sesuai dengan Kep.
29/PM/2004, didefinisikan sebagai komite yang dibentuk oleh dewan komisaris
untuk melakukan tugas pengawasan pengelolaan perusahaan. Komite audit merupakan
suatu komponen yang baru dalam perusahaan yang memiliki peranan sangat vital
sebagai sistem pengendalian perusahaan.
Selain itu
komite audit juga dapat berfungsi sebagai penghubung antara pemegang saham dan
dewan komisaris dengan pihak manajemen dalam hal pengendalian internal
perusahaan. Seperti dalam Kep. 29/PM/2004 yang menuliskan tugas dari komite
audit adalah:
1) Melakukan
penelaahan atas informasi keuangan yang akan dikeluarkan perusahaan, seperti
laporan keuangan laporan keuangan, proyeksi dan informasi keuangan lainnya,
2) Melakukan penelaahan atas ketaatan perusahaan
terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal dan peraturan
perundangan lainnya yang berhubungan dengan kegiatan perusahaan,
3) Melakukan penelaahan atas pelaksanaan pemeriksaan
oleh auditor internal,
4) Melaporkan kepada komisaris berbagai risiko yang
dihadapi perusahaan dan pelaksanaan manajemen risiko oleh direksi,
5) Melakukan
penelaahan dan melaporkan kepada dewan komisaris atas pengaduan yang berkaitan
dengan emiten,
6) Menjaga kerahasiaan dokumen, data, dan rahasia
perusahaan.
Komite Audit menurut KNKG (2006) memiliki tugas membantu
Dewan Komisaris dalam memastikan bahwa: (i) laporan keuangan disajikan secara
wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, (ii) struktur
pengendalian internal perusahaan dilaksanakan dengan baik, (iii) pelaksanaan
audit internal maupun eksternal dilaksanakan sesuai dengan standar audit yang
berlaku, dan (iv) tindak lanjut temuan hasil audit dilaksanakan oleh manajemen.
Kesimpulan
Dalam hubungan keagenan terjadi pemisahan kepemilikan antara
pemilik perusahaan (principal) dan pengelola perusahaan (agent). Dengan
pemisahan ini, pemilik perusahaan memberikan kewenangan pada pengelola untuk
mengurus jalannya perusahaan. Dengan kewenangan yang dimiliki ini, mungkin saja
pengelola tidak bertindak yang terbaik untuk kepentingan pemilik karena adanya
perbedaan kepentingan (conflict of interest) antara pemilik dan pengelola.
Laporan keuangan yang dibuat oleh pengelola perusahaan dengan menggunakan
angka-angka akuntansi diharapkan dapat meminimalkan konflik antara pihak-pihak
yang berkepentingan dengan perusahaan. Akan tetapi, karena adanya
ketergantungan pihak eksternal pada angka akuntansi, kecenderungan agent untuk
mencari keuntungan sendiri dan tingkat asimetri informasi yang tinggi,
menyebabkan agent memanipulasi kinerja yang dilaporkan untuk kepentingan mereka
sendiri. Agent melakukan manipulasi data dalam menyajikan informasi akuntansi
dengan melakukan manajemen laba (earnings management).
Para pengguna internal (para manajemen) mengetahui
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada perusahaan, sedangkan pihak eksternal
yang tidak berada di perusahaan secara langsung, tidak mengetahui informasi
tersebut sehingga tingkat ketergantungan manajemen terhadap informasi akuntansi
tidak sebesar para pengguna eksternal. Salah satu kendala yang akan muncul
antara agent dan principal adalah adanya asimetri informasi (information
asymmetry). Asimetri informasi adalah suatu keadaan dimana agent mempunyai
informasi yang lebih banyak tentang perusahaan dan prospek dimasa yang akan
datang dibandingkan dengan principal. Kondisi ini memberikan kesempatan kepada
agent menggunakan informasi yang diketahuinya untuk memanipulasi pelaporan
keuangan sebagai usaha untuk memaksimalkan kemakmurannya.
Manajer selaku agent mengetahui informasi internal
lebih banyak mengenai perusahaan dibandingkan dengan principal, sehingga
manajer harus memberikan informasi mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik.
Informasi yang disampaikan oleh manajer terkadang tidak sesuai dengan kondisi
perusahaan yang sebenarnya karena manajer cenderung untuk melaporkan sesuatu
yang memaksimalkan utilitasnya. Keadaan yang seperti ini dikenal dengan
asimetri informasi yang dapat memberikan kesempatan kepada manajer untuk
melakukan praktik manajemen laba (earning management).
Asimetri informasi yang terjadi antara manajemen
(agent) dengan pemilik (principal) memberikan kesempatan kepada manajer untuk
bertindak oportunis, yaitu demi memperoleh keuntungan pribadi (Ujiyanto, 2007).
Asimetri informasi inilah yang kemudian menjadi pemicu munculnya praktik
manajemen laba di perusahaan. Schipper (1989) menyatakan definisi manajemen
laba adalah suatu intervensi yang memiliki tujuan tertentu dalam proses
pelaporan keuangan eksternal, demi mendapatkan keuntungan yang sifatnya pribadi
seperti diungkapkan. Manajemen laba akan membuat laba tidak sesuai dengan
realitas ekonomi yang ada, sehingga kualitas laba yang dilaporkan menjadi
rendah. Laba yang disajikan mungkin tidak mencerminkan realitas ekonomi, tetapi
lebih karena keinginan manajemen untuk memperlihatkan sedemikian rupa sehingga
kinerjanya dapat terlihat baik. Setiawati dan Na’im (2000) menyatakan bahwa
manajemen laba merupakan campur tangan dalam proses pelaporan keuangan
eksternal dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri. Manajemen laba
sendiri dapat mengakibatkan berkurangnya kredibilitas laporan keuangan,
menambah bias dalam laporan keuangan dan dapat membuat pemakai laporan keuangan
mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba tanpa rekayasa.
Tujuan dari Corporate Governance adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi
semua pihak yang berkepentingan (stakeholders).
Komite Nasional Kebijakan Governance atau KNKG (2006)
menyatakan bahwa setiap perusahaan harus memastikan bahwa prinsip-prinsip pokok
GCG diterapkan pada setiap aspek bisnis dan di semua jajaran perusahaan.
Prinsip-prinsip pokok tersebut adalah transparasi (transparency), akuntabilitas
(accountability), responsibilitas (responsibility), independensi
(independency), kewajaran dan kesetaraan (fairness). Corporate governance
berkaitan dengan bagaimana para investor yakin bahwa manajer akan memberikan
keuntungan bagi mereka, yakin bahwa manajer tidak akan menggelapkan atau
menginvestasikan ke dalam proyek-proyek yang tidak menguntungkan berkaitan
dengan dana/kapital yang telah ditanamkan oleh investor, dan berkaitan dengan
bagaimana para investor mengontrol para manajer. Dengan kata lain corporate
governance diharapkan dapat berfungsi untuk menekan atau menurunkan biaya
keagenan (agency cost).
Daftar Pustaka
Achmad, dkk. 2007. “Investigasi Motivasi dan Strategi
Manajemen Laba pada Perusahaan Publik di Indonesia”. Simposium Nasional
Akuntansi X. Eisenhardt, Kathleem. M. (1989). Agency Theory: An Assesment and
Review. Academy of Management Review, 14, hal 57-74 Forum for Corporate
Governance in Indonesia (FCGI). 2003. “Peranan Dewan Komisaris dan Healy, P, K.
Palepu. 1999. “Discussion of Earnings – Based Bonus Plans and Earnings Healy,
P, K. Palepu. 2001. “Information Asymmetry, Corporate Disclosure, and The
Capital Markets : A Review of The Empirical Disclosure Literature.” Journal of
Accounting and Economics 31. Irfan, Ali. 2002. “Pelaporan Keuangan dan Asimetri
Informasi dalam Hubungan Agensi”. Lintasan Ekonomi Vol. XIX. No.2. Juli 2002 Jensen,
Michael C. dan W.H. Meckling. (1976). Theory of The Firm: Managerial Behavior,
Agency Cost and Ownership Structure. Journal of Financial Economics 3. hal.
305-360. Komalasari, Puput T. 2001. “Asimetri Informasi dan Cost of equity
Capital”, Simposium Nasional Akuntansi III. Rahmawati, 2007. “Model
Pendeteksian Manajemen Laba Pada Industri Perbankan Publik di Indonesia dan
Pengaruhnya Terhadap Kinerja Perbankan.” Jurnal Akuntansi dan Manajemen, Vol.
18, No. 1, h.23-24. Rahmawati, dkk. 2006. “Pengaruh Asimetri Informasi terhadap
Praktik Manajemen Laba pada Perusahaan Perbankan Publik yang terdaftar di Bursa
Efek Jakarta”, Simposium Nasional Akuntansi IX. Salno, H.M. dan Baridwan. 2000.
“Analisis Perataan Penghasilan (income Smoothing): Faktor-faktor yang
Mempengaruhi dan Kaitannya dengan Kinerja Saham Perusahaan Publik di
Indonesia”. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, 3 (1):17-34. Saputri, F. Dini,
2009. “Pengaruh Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba di Industri
Perbankan Indonesia”, Skripsi, STIE Dharmaputra, Semarang. Schipper, Katherine.
(1989). Comentary Katherine on Earnings Management. Accounting Horizon.
Setiawati, L. dan Naim. 2000. Manajemen Laba. Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Indonesia, Vol. 15, No. 4, h. 424-441. Ujiyantho, Moh. Arief dan Bambang Agus
P. 2007. “Mekanisme Corporate Governance, Manajemen Laba dan Kinerja Keuangan”
,Simposium Nasional Akuntansi X. Veronica, Sylvia, dan Y.S. Bachtiar, 2004. “
Good Corporate Governance, Information Asymmetry, and Earnings Management.”,
Simposium Nasional Akuntansi VII. Widyaningdyah, Agnes Utari. 2001. “Analisis
Faktor – Faktor yang Berpengaruh Terhadap Earnings Management pada Perusahaan
Go Public di Indonesia”. Jurnal Akuntansi &Keuangan Vol. 3, No. 2,
November. Yana, Dwi. 2007. “Pengaruh Konservatisma Akuntansi Terhadap Penilaian
Ekuitas Perusahaan Dimoderasi oleh Good Corporate Governance.”, Simposium
Nasional Akuntansi X. Makassar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar