Minggu, 05 Mei 2013

Review Jurnal Hukum Perdata 2


HALAMAN PENGESAHAN KAJIAN TERHADAP HAK MEWARIS ANAK ANGKAT DIDASARKAN HIBAH WASIAT MENURUT HUKUM PERDATA.
( Studi di Pengadilan Negeri Jakarta Timur )


Penulis     : FERZA IKA MAHENDRA, S.H.
                 UNIVERSITAS DIPONEGORO
                 SEMARANG
Sumber    : http://eprints.undip.ac.id/17405/1/FERZA_IKA_MAHENDRA.pdf


2. Pelaksanaan hibah wasiat terhadap anak angkat dalam memperoleh hak mewaris.

     Di kota-kota besar, tidak jarang hibah wasiat itu dibuat secara tertulis oleh seorang Notaris yang khusus diundang untuk mendengarkan ucapan terakhir dengan disaksikan oleh dua orang saksi. Dengan demikian, maka hibah wasiat memperoleh bentuk testamen 
Hibah wasiat meliputi sebagian atau seluruhnya harta kekayaan pewaris akan tetapi tidak mengurangi hak mutlak ahli waris lainnya dan dapat dicabut kembali. Hal ini didasarkan atas putusan Mahkamah Agung Nomor 62/1962 Pn.Tjn, tanggal 13 oktober 1962 dan didasarkan putusan Mahkamah Agung, tanggal 23 Agustus 1960 Nomor 225K/SIP/1960, menyatakan hibah wasiat tidak boleh merugikan ahli waris dari si penghibah

     Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak melarang bagi seseorang untuk menghibahwasiatkan seluruh harta peninggalannya, tetapi KUHPerdata mengenal asas Ligitime portie yaitu bagian warisan yang sudah di tetapkan menjadi hak para ahli waris dalam garis lurus dan tidak dapat dihapuskan oleh yang meninggalkan warisan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 913-929 KUHPerdata.
     Didasarkan Pasal 916 (a) KUHPerdata, pewaris hanya boleh memberikan peninggalannya dengan cara, hibah wasiat ataupun pengangkatan sebagai ahli waris dengan jumlah yang tidak melebihi Ligitime portie.
     Pasal 913 KUHPerdata, yang dijamin dengan bagian mutlak atau Ligitime portie itu adalah para ahli waris dalam garis lurus yaitu anak-anak dan keturunannya serta orang tua dan leluhurnya ke atas.
     Anak angkat dapat mewaris dari orang tua yang mengangkatnya, tetapi yang  penting tidak merugikan ahliwaris lain yang ada.

     Hal ini dipertegas dengan pendapat Notaris, yang mengatakan, Pengangkatan anak untuk WNI keturunan Tionghoa masih menggunakan Staatsblad 1917 Nomor 129. karena masih menggunakan Staatsblad 1917 Nomor 129 tersebut, maka anak angkat berhak mewaris dari orang yang mengangkatnya. Hal ini karena anak tersebut setelah diangkat menjadi anak kandung dari orang yang mengangkatnya.  Menurut hukum pengangkatan anak yang melalui adopsi dilakukan dengan Penetapan Pengadilan. Status anak angkat tersebut sama kedudukannya dengan anak kandung. Akibat hukumnya dalam pembagian harta warisan berlaku sama dengan anak kandung seperti tertuang dalam Pasal 852 KUHPerdata.dan berlaku “Ligitime portie” (Pasal 913 samapi Pasal 929).
     Dalam hak mewaris, anak angkat akan mendapatkan warisan yang sama dengan anak kandung. Tetapi bila ia tidak dapat dikarenakan berlakunya hukum yang berlaku pada orang tua angkatnya, maka pewaris dapat memberinya dengan cara hibah wasiat (testamen) yang di buat di hadapan Notaris dengan tidak merugikan para ahli waris lainnya.




Nama  : Angga Priyambada
Npm   : 28211642
Kelas  : 2EB08

Review Jurnal Hukum Perdata 2


HALAMAN PENGESAHAN KAJIAN TERHADAP HAK MEWARIS ANAK ANGKAT DIDASARKAN HIBAH WASIAT MENURUT HUKUM PERDATA.
( Studi di Pengadilan Negeri Jakarta Timur )


Penulis     : FERZA IKA MAHENDRA, S.H.
                 UNIVERSITAS DIPONEGORO
                 SEMARANG
Sumber    : http://eprints.undip.ac.id/17405/1/FERZA_IKA_MAHENDRA.pdf


BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Proses Sahnya Pengangkatan Anak agar Anak tersebut Mempunyai Kedudukan Hukum.

     Berdasarkan Pasal 12 jo Pasal 14 Staatsblad 1917 : 129, anak angkat mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan kedudukan anak kandung, yaitu anak yang dianggap sebagai telah dilahirkan dari perkawinan mereka yang telah mengangkat anak dan hubungan keperdataan anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya menjadi putus sama sekali.
     Pengangkatan anak melalui jalur formal (Pengadilan) awalnya hanya dikenal di lingkungan penduduk tionghoa yang didasarkan atas aturan khusus untuk itu.
Anak yang diangkat adalah anak orang lain. Akan tetapi di dalam masyarakat Indonesia dikenal pengangkatan anak yang diambil dari lingkungan keluarga sendiri, karena system hukum keluarga di Indonesia didasarkan asas kekeluargaan.
     Hubungan kekeluargaan yaitu hubungan yang didasarkan atas adanya hubungan darah, sehingga jika terjadi masalah seperti tidak adanya penerus keturunan dalam keluarga diambillah anak dari keluarga sedarah. Pengangkatan anak cukup diketahui oleh sanak keluarga setempat dengan membuat selamatan, secara factual anak angkat tersebut tinggal, dipelihara oleh orang tua angkatnya.
     Pengangkatan anak saat ini tidak lagi dibatasi pada anak dari lingkungan keluarga, tetapi juga anak orang lain.
     Didasarkan Undang-undang Undang Nomor 23 tahun 2002 Pasal 1 angka 9 Undang-undang tentang Perlindungan Anak mengatakan bahwa Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.
     Didasarkan Pasal 39 ayat (1) Undang – Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku.

     Dalam Pasal 1 angka (2) Peraturan Pemerintah RI Nomor 54 Tahun 2007 tentang Perlindungan Anak , disebutkan :
“Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya.”

     Atas  ketentuan diatas dapat disimpulkan bahwa pengangkatan anak yang dilakukan melalui Pengadilan merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap kedudukan hukum anak angkat. Setelah adanya putusan atau penetapan Pengadilan, maka status anak tersebut sama dengan anak kandung, baik dalam hal perawatan, pendidikan, maupun dalam kewarisan. Dengan kata lain anak angkat mempunyai hak yang sama dengan anak kandung dan merupakan ahli waris yang sah dari orang tua angkatnya.



Nama  : Angga Priyambada
Npm   : 28211642
Kelas  : 2EB08

Review Jurnal Hukum Perdata 2


HALAMAN PENGESAHAN KAJIAN TERHADAP HAK MEWARIS ANAK ANGKAT DIDASARKAN HIBAH WASIAT MENURUT HUKUM PERDATA.
( Studi di Pengadilan Negeri Jakarta Timur )


Penulis     : FERZA IKA MAHENDRA, S.H.
                 UNIVERSITAS DIPONEGORO
                 SEMARANG
Sumber    : http://eprints.undip.ac.id/17405/1/FERZA_IKA_MAHENDRA.pdf

III. Pengangkatan Anak
Pengertian Pengangkatan Anak

Di dalam Pasal 1 angka (9) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, disebutkan :
“Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan”

     Dalam Pasal 1 angka (2) Peraturan Pemerintah RI Nomor 54 Tahun 2007, disebutkan :
“ Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya”.

     Dari pengertian tersebut diatas dapat dibedakan antara pengangkatan anak dengan adopsi. Di dalam pengangkatan anak hubungan antara anak yang diangkat
dengan orang tua kandungnya tidak putus sehingga ia mewaris baik dari orang tua angkatnya maupun orang tua kandungnya, sedangkan dalam adopsi hubungan antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya putus sama sekali sehingga ia hanya mewaris dari orang tua angkatnya saja.

Maka secara garis besar pengangkatan anak dapat dibagi dalam 2 (dua) pengertian, yaitu :

1. Pengangkatan anak dalam arti luas, yaitu pengangkatan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri yang sedemikian rupa sehingga antara anak yang diangkat dengan orang tua angkat timbul hubungan antara anak angkat sebagai anak sendiri dan orang tua angkat sebagai orang tua sendiri.
2. Pengangkatan anak dalam arti sempit yaitu pengangkatan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri dan hubungan antara anak yang diangkat dan orang tua angkat hanya terbatas pada hubungan sosial saja.

     Di dalam pengangkatan anak hubungan antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya tidak putus sehingga ia mewaris baik dari orang tua angkatnya maupun dari orang tua kandungnya, sedangkan dalam adopsi hubungan antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya putus sama sekali, sehingga ia hanya mewaris dari orang tua angkatnya saja.

Pengangkatan Anak Manurut Hukum Barat

     KUHPerdata tidak mengatur tentang pengangkatan anak, dalam beberapa pasal KUHPerdata hanya di jelaskan masalah perkawinan dengan istilah “Anak Luar Kawin” atau anak yang diakui (Erkiend). Oleh karena itu Pemerintah Hindia Belanda membuat aturan tersendiri yaitu dalam pasal 5 Staatsblad 1917 nomor 129 sebagai ketentuan tertulis yang mengatur pengangkatan anak untuk golongan masyarakat
timur asing.(Tionghoa).
     Di dalam Pasal 5 Staatsblad 1917 Nomor 129 yang dikutip dalam buku Soedharyo Soimin tersebut disebutkan bahwa bila seorang laki – laki kawin atau pernah kawin, tidak mempunyai keturunan laki – laki yang sah dalam garis laki – laki baik karena hubungan darah maupun karena pengangkatan, dapat meengangkat seseorang sebagai anak laki - lakinya
Pada Pasal 5 Staatsblad 1917 Nomor 129 dijelaskan bahwa pengangkatan anak hanya dapat dilakukan terhadap anak laki – laki, karena anak laki – laki merupakan sebagai penerus keturunan dari oarng tua angkatnya.
Sedangkan pengangkatan anak perempuan tidak diperbolehkan dan batal demi hukum ( Pasal 15 Staatsblad ).


Nama  : Angga Priyambada
Npm   : 28211642
Kelas  : 2EB08





Review Jurnal Hukum Perdata 1


PENGGUNAAN INDIRECT EVIDENCE (ALAT BUKTI TIDAKLANGSUNG) OLEH KPPU DALAM PROSES PEMBUKTIAN DUGAAN PRAKTIK KARTEL DI INDONESIA
 (STUDI DI KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA)

penulis      : Mutia Anggraini
kata kunci : Indirect Evidence/alat bukti tidak langsung, kartel, alat bukti.
sumber      : http:// hukum.ub.ac.id/wp-content/uploads/2013/01/JURNAL-Mutia-Anggraeni 0910110053.pdf


PENUTUP
 Kesimpulan

Kesimpulan dari skripsi diatas sebagai berikut:

      a. Hukum acara perdata maupun hukum acara pidana tidak mengenal pengelompokan istilah alat bukti langsung dan alat bukti tidak langsung. Alat bukti tidak langsung dan alat bukti langsung dikenal dalam hukum acara persaingan usaha.  Penggunaan alat bukti tidak langsung berupa metode analsis ekonomi dan bukti komunikasi sebagai bukti pertama pada tahap pemeriksaan pendahuluan oleh KPPU. Selanjutnya untuk masuk pada tahap pemeriksaan lanjutan hingga putusan tetap diperlukan alat bukti lainnya berupa keterangan saksi, keterangan ahli,
surat dan atau dokumen dan keterangan pelaku usaha.
      b. Kartel adalah suatu bentuk perjanjian yang dibuat oleh dua atau lebih pelaku usaha sejenis, dengan maksud untuk mengendalikan produksi, harga dan wilayah pemasaran. Akibat yang ditimbulkan dengan adanya kartel berdampak secara khusus kepada konsumen sebagai penderita kerugian secara langsung dan negara sebagai penderita kerugian secara tidak langsung dan global. Bukti tidak langsung dapat digunakan analisis melalui beberapa cara. Menurut pengaturan dalam Peraturan Komisi No 4 tahun 2010 tentang pedoman pasal 11 UU No.5 tahun 1999 tentang bukti tidak langsung, yang dapat digunakan sebagai alat bukti tidak langsung yaitu melalui analisis ekonomi melalui faktor struktural dan faktor perilaku. Faktor struktural mencangkup tingkat konsentrsi dan jumlah perusahaan; ukuran perusahaan; homogenitas produk; kontak multi pasar; persediaan dan kapasitas produksi; keterkaitan kepemilikan; kemudahaan masuk pasar; karakter permintaan: keteraturan, elastisitas dan perubahan; kekuatan tawar pembeli. Sedangkan untuk faktor perilaku berdasarkan transparansi dan pertukaran informasi, dan peraturan harga dan kontrak. Menurut Riris Munadiya dalam jurnal berjudul Bukti Tidak Langsung (Indirect Evidence) dalam Penanganan Kasus Persaingan Usaha. dikatakan bahwa alat bukti tidak langsung selain dengan penggunaan melalui analisis faktor structural dan faktor perilaku dilakukan dengan cara pendekatan ekonomi, dan metode secara ekonomi. Penggunaan alat bukti dengan metode analisis ekonomi ini telah dilakukan dalam contoh putusan No. 24/KPPU-I/2009 tentang Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia dan putusan No.25/KPPU-I/2009 tentang Penetapan Harga fuel Surcharge dalam industri jasa penerbangan domestic Indonesia.

 Saran
beberapa saran untuk perbaikan pengaturan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia:
     a. Pertentangan penggunaan Indirect Evidence masih hadir di kalangan akademisi baik dosen dan mahasiswa. Sebaiknya KPPU lebih menggiatkan sosialisasi tentang Indirect Evidence dan tata cara dan tahapan penggunaannya pada sistem pembuktian di KPPU dan kaitannya dengan sistem pembuktian di Indonesia.

     b. Masih diperlukan sosialisasi terkait Tata Cara Penanganan Perkara yaitu Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 1 tahun 2010 tetantang tata Cara Penanganan Perkara jo. Perkom No. 1 tahun 2006.

     c. Masih diperlukan pengaturan mengenai tata cara penanganan perkara yang lebih mendetail supaya jelas terlihat tahapan penggunaan indirect evidence oleh KPPU.


Nama  : Angga Priyambada
Npm   : 28211642
Kelas  : 2EB08

Review Jurnal Hukum Perdata 1

PENGGUNAAN INDIRECT EVIDENCE (ALAT BUKTI TIDAKLANGSUNG) OLEH KPPU DALAM PROSES PEMBUKTIAN DUGAAN PRAKTIK KARTEL DI INDONESIA
 (STUDI DI KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA)

penulis      : Mutia Anggraini
kata kunci :  Indirect Evidence/alat bukti tidak langsung, kartel, alat bukti.
sumber      : http:// hukum.ub.ac.id/wp-content/uploads/2013/01/JURNAL-Mutia-Anggraeni 0910110053.pdf





2) Faktor Perilaku

 a) Transparansi dan pertukaran informasi
 b) Peraturan harga dan kontrak.

    Biasanya para pelaku usaha berusaha untuk menyimpan hal-hal yang menjadi rahasia keberhasilan perusahaan dalam mendapatkan pembeli/konsumen. Namun dalam kartel tidak diperlukan cara khusus untuk mendapatkan konsumen/pembeli 
Pembuktian adanya kesepakatan harus meyakinkan Perilaku lainnya yaitu peraturan harga dan kontrak yang patut dicermati oleh KPPU sebagai bagian upaya identifikasi eksistensi kartel.
      Kesepakatan tersebut pada umumnya dilakukan secara tertutup atau diam-diam, sehingga seringkali KPPU menghadapi kesulitan dalam mengungkap dan membuktikan adanya kartel. kegiatan perusahaan akan ditelusuri oleh KPPU. Data-data perusahaan tersebut kemudian dianalisis apakah benar ada pelanggaran kartel maupun pelanggaran terhadap UU No. 5 tahun 1999. Jikalau telah terbukti atas hasil penyelidikan melalui analisis ekonomi ini KPPU berupaya untuk mendapatkan serangkaian alat bukti lainnya. 

     Dasar pertimbangan yang menyebabkan KPPU memutuskan bahwa tidak terjadinya dugaan praktek pelanggaran pasal 11 tentang kartel berdasarkan hal berikut:
i. Tidak terdapat dampak yang merugikan bagi negara dan konsumen;
ii. Tidak terdapat perbedaan harga yang signifikan ditingkat pabrik dan tingkat ritel;
iii. Tidak adanya bukti bahwa telah terjadi pengaturan pasokan.

      Kartel menjadi sulit dideteksi karena pada faktanya perusahaan yang berkolusi berusaha menyembunyikan perjanjian diantara mereka dalam rangka menghindari hukum. Jarang sekali dan naïf tentunya apabila pelaku usaha secara terang-terangan membuat perjanjian diantara mereka, membuat dokumen hukum, mengabadikan pertemuan, serta mempublikasikan perjanjian untuk melakukan suatu pelanggaran hukum.Dari hasil analisis kepustakaan yang dilakukan oleh penulis terdapat pendekatan ekonomi sebelum memulai penyelidikan dan metode secara ekonomi yang digunakan KPPU untuk memeriksa kasus kartel.

a. Pemilihan pendekatan ekonomi untuk memulai penyelidikan

      Penyelidikan ini memiliki beberapa metodologi pendeteksian
kartel sebagai berikut:
  1) Metodologi dengan seleksi random;
  2) Metodologi yang bergantung pada indikator individu;
  3) Metodologi yang otomatis (an automated methodology);
  4) Metodologi menitoring pasar secara permananen.\

b. Metode secara ekonomi

      Metode analisis ekonomi ini ada untuk menganalisis pembuktian kartel dengan menggunakan alat bukti tidak langsung atau indirect evidence. Penggunaannya dengan membuktikan adanya hubunganhubungan antara fakta ekonomi satu dengan fakta ekonomi lainnya. Terlihatlah sebuah bukti kartel yang utuh sampai dengan jumlah kerugian yang diderita masyakat.
     Kartel tidak hanya dapat merugikan konsumen secara materiil.Lebih jauh lagi akibat dari kartel dapat menyebabkan kondisi perekonomian negara yang bersangkutan tidak kondusif dan kurangkompetitif dibandingkan dengan negara-negara lain yang menerapkan sistem persaingan usaha yang sehat. Selain itu kartel dapat menyebabkan tidak bekerjanya sumber-sumber daya baik itu sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya ekonomi lainnya secara efisien/berdaya guna penuh.

a. Analisis putusan

    1. Putusan Perkara Nomor 25/KPPU-I/2009 Tentang Penerapan Harga Fuel Surcharge dalam industri jasa penerbangan domestikIndonesia

     Dalam kasus ini yang digunakan KPPU sebagai Indirect Evidence yaitu hasil analisis terhadap hasilpengolahan data yang mencerminkan terjadinya keuntungan yang banyak disertai ketidakwajaran. Oleh karena keuntungan tersebut ada bukan karena perusahaan melakukan efisiensi teknologi, sumberdaya maupun kinerja dari sistem diperusahaan maskapai penerbangan tersebut. Melainkan dari hasil analisis grafik, tabel uji korelasi dan uji varians menunjukkan adanya trend dan variasi yang mengarahkan pada suatu kesimpulan bahwa telah terjadi kesepakatan penetapan besaran harga fuel surcharge diantara para pelaku usaha maskapai penerbangan tersebut.

   2. Putusan perkara Nomor 24/KPPU-I/2009 Tentang Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia

     bukti tidak langsung yang menjadi alat buktiawal dilakukannya penelitian atas dugaan adanya kartel diantara pelaku usaha produsen minyak goreng curah dan kemasan yang ditemukan selama tahap pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan lanjutan, yaitu sebagai berikut:

1) Bukti Komunikasi (communication evidence)
        Pertemuan dan/atau komunikasi baik secara langsung maupun tidak langsung dilakukan oleh para Terlapor pada tanggal 29 Februari 2008 dan tanggal 9 Februari 2009. Bahkan dalam dalam pertemuan dan/atau komunikasi tersebut dibahas antara lain mengenai harga,kapasitas produksi, dan struktur biaya produksi;
   b) Bukti ekonomi (economic evidence);
Berikut bukti ekonomi yang terdapat pada putusan ini yaitu struktur pasar terkonsentrasi, Produk yang dihasilkan mempunyai karekteristik yang sama, price parallelism, market leader, permintaan berisfat inelastis, tingkat kesulitan memasuki pasartinggi.
   c) Facilitating practices
Fasilitas informasi yang dilakukan yaitu melalui price signaling dalam kegiatan promosi dalam waktu yang tidak bersamaan serta pertemuan-pertemuan atau komunikasi antar pesaing melalui asosiasi.




Nama  : Angga Priyambada
Npm   : 28211642
Kelas  : 2EB08

Review Jurnal Hukum Perdata 1



PENGGUNAAN INDIRECT EVIDENCE (ALAT BUKTI TIDAKLANGSUNG) OLEH KPPU DALAM PROSES PEMBUKTIAN DUGAAN PRAKTIK KARTEL DI INDONESIA
 (STUDI DI KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA)

penulis      : Mutia Anggraini
kata kunci : Indirect Evidence/alat bukti tidak langsung, kartel, alat bukti.
sumber      : http:// hukum.ub.ac.id/wp-content/uploads/2013/01/JURNAL-Mutia-Anggraeni 0910110053.pdf


PEMBAHASAN
1. Penggunaan Indirect Evidence dalam proses pembuktian menurut sistem
hukum pembuktian di Indonesia

    Di Indonesia dalam sistem hukum pembuktian hukum acara pidana menganut sistem menurut undang-undang secara negatif. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori penggabungan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem
pembuktian conviction in time, artinya salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.  Hukum acara yang dimaksud disini adalah Hukum acara Pidana, hukum acara perdata, hukum acara persaingan usaha. Hukum acara pidana secara khusus diatur dalam Kitab Hukum Acara Pidana, hukum acara perdata secara khusus diatur dalam Kitab Hukum acara perdata atau HIR dan Hukum acara Persaingan Usaha diatur dalam peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (Perkom) Nomor 1 tahun 2010 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara.
     dalam hal ini terdapat perbedaan-perbedaan antara penggunaan pembuktian menurut hukum acara persaingan usaha, hukum acara perdata, dan hukum acara pidana. Pembuktian adalah suatu tahapan di dalam hukum untuk meneliti kebenaran atas suatu perkara hukum. Hukum acara pidana secara tegas mengatur dalam pasal 184 KUHAP “alat bukti yang sah, yaitu: keterangan saksi; keterangan ahli; surat; petunjuk; keterangan terdakwa”. Hukum pembuktian di dalam sistem hukum acara pidana tidak dikenal adanya alat bukti langsung dan tidak langsung.
     Di sisi lain hukum acara perdata dalam pasal 164 HIR menyebutkan alat bukti yang sah, yaitu: bukti surat; bukti saksi; sangka; pengakuan; sumpah. Pengelompokkan bukti tidak langsung dan bukti langsung dijelaskan dalam buku M. Yahya Harahap sebagai berikut: “Disebut bukti langsung,
karena diajukan secara fisik oleh pihak yang berkepentingan di depan persidangan”.
Secara umum istilah Indirect dan Direct Evidence tidak begitu akrab dalam lingkungan fakultas Hukum. Baik Kitab hukum acara pidana, Kitab hukum
acara perdata tidak mencantumkan kedua istilah tersebut.
     Penggunaan Indirect Evidence sebagai alat bukti permulaan pada praktiknya seringkali terjadi pembatalan pada putusan KPPU. Putusan KPPU secara praktek dapat dilakukan banding. Banding dapat dilakukan apabila  terdapat ketidakpuasan atas hasil putusan yang dijatuhkan oleh KPPU.
Pengajuan keberatan ini boleh diajukan kepada Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sesudah menerima pemberitahuan putusan tersebut. “Sebagai lembaga negara pembantuan yang sifatnya menjalankan fungsi pemerintahan yang lainnya, yaitu dalam bidang pengawasan persaingan usaha, Putusan KPPU dapat dilakukan banding ke Pengadilan Negeri”.5 Pengadilan Negeri dalam beberapa kasus membatalkan putusan KPPU atas dugaan pelanggaran UU No. 5 tahun 1999 baik perkara kartel maupun diluar perkara kartel.

2. Penggunaan Indirect Evidence oleh KPPU dalam membuktikan adanya
dugaan kartel di Indonesia

a. Unsur Kartel

Kartel dalam pasal 11 Undang- undang Nomor 5 tahun 1999 menetapkan, bahwa:
     Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan parapesainganya untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 11 UU No. 5 tahun 1999 dapat dijabarkan melalui unsur unsur
sebagai berikut:
a. Unsur Pelaku Usaha
b. Unsur perjanjian
c. Unsur pelaku usaha pesaingnya
d. Unsur bermaksud mempengaruhi harga
e. Unsur mengatur produksi dan atau pemasaran
f. Unsur barang
g. Unsur jasa
h. Unsur dapat mengakibatkan praktek monopoli
i. Unsur dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat


     Menurut hukum Persaingan Usaha, alat-alat bukti dalam proses investigasi dapat dibedakan menjadi dua.
Bukti langsung adalah “bukti yang tidak dapat menjelaskan secara spesifik, terang dan jelas mengenai materi kesepakatan antara pelaku usaha…”.7 Kartel merupakan suatu kesepakatan atau perjanjian yang dilakukan oleh para pelaku usaha sejenis. Kesepakatan atau perjanjian ini dapat berupa kesepakatan tertulis atau tidak tertulis yang secara jelas menerangkan materi kesepakatan. Kedua,
Bukti  tidak langsung. Menurut hasil wawancara dengan KPPU bukti tidak langsung diartikan sebagai berikut:
     Bukti tidak langsung adalah bukti yang tidak dapat menjelaskan secara spesifik, terang dan jelas mengenai materi kesepakatan antara pelaku usaha,

b. Indikator Awal Terjadinya Kartel
     indikasi terjadinya kartel melalui metode analisis ekonomi:
Beberapa diantaranya sebagai berikut:

1) Faktor struktural
    a) Tingkat konsentrasi dan jumlah perusahaan
    b) Ukuran perusahaan
    c) Homogenitas produk
    d) Kontak multi pasar
    e) Persediaan dan kapasitas produk
    f) Keterkaitan kepemilikan
    g) Kemudahan masuk pasar
    h) Karakter permintaan: keteraturan, elastisitas dan perubahan
    i) Kekuatan tawar pembeli (buyer power)
      Kartel akan lebih mudah terjadi jika jumlah perusahaan yang tergabung tidak banyak. Oleh Karena akan lebih mudah untuk melakukan koordinasi dan pengawasan terhadap para pelaku usaha yang tergabung dalam kesepakatan untuk melakukan kartel.
Pelaku-pelaku usaha dengan modal yang tinggi serta keunggulan atas penguasaan pasar menjadikan beberapa perusahaan yang memiliki banyak anak perusahaan yang juga bergerak dibidang yang sama memiliki kecendrungan untuk menguasai/mengendalikan pasar..
     Produk hasil dari para pelaku usaha sifatnya homogenitas/sejenis
Pasokan barang yang beredar dipasaran overstock atau jumlah penawaran lebih tinggi dibandingkan permintaan menjadikan pelaku usaha mudah terperangkap untuk menyepakati harga atas barang tersebut
      Indikator struktural terakhir dalam mendeteksi awal terjadinya kartel yaitu kekuatan tawar pembeli. Pembeli yang memiliki posisi tawar yang kuat akan mampu melemahkan sistem perkartelan karena pembeli akan mudah mencari penjual yang mau memasok dalam harga rendah sehingga kartel dengan sendirinya dapat bubar disebabkan ketidakpatuhan atas kesepakatan kartel dan ketidakefektifan aturan kartel diantara para pelaku usaha tersebut. Pelemahan kartel ini dapat terjadi oleh karena kuatnya pengaruh pembeli atas daya tawar suatu barang. Pelaku usaha akan lebih sulit melakukan koordinasi dan penyesuaian harga akan barang/jasa mereka. kesepakatan-kesepatan yang telah ada dapat dengan sendirinya menjadi tidak efektif.

Nama  : Angga Priyambada
Npm   : 28211642
Kelas  : 2EB08

Review Jurnal Hukum Perdata 1


PENGGUNAAN INDIRECT EVIDENCE (ALAT BUKTI TIDAKLANGSUNG) OLEH KPPU DALAM PROSES PEMBUKTIAN DUGAAN PRAKTIK KARTEL DI INDONESIA
 (STUDI DI KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA)

penulis      : Mutia Anggraini
kata kunci : Indirect Evidence/alat bukti tidak langsung, kartel, alat bukti.
sumber      : http:// hukum.ub.ac.id/wp-content/uploads/2013/01/JURNAL-Mutia-Anggraeni 0910110053.pdf


ABSTRAK
Permasalahan Penggunaan Indirect Evidence oleh KPPU dalam Proses Pembuktian Dugaan Praktik Kartel di Indonesia. Pilihan tema tersebut dilatar belakangi dari perkembangan isu yang menyatakan bahwa KPPU dalam praktiknya dapat menggunakan satu alat bukti. Alat bukti tersebut, yaitu alat bukti tidak langsung. Perbedaan penggunaan minimal alat bukti dalam hukum acara ini yang membuat penulis tertarik untuk menulis permasalahan
tersebut.Berdasarkan hal tersebut diatas, berikut  rumusan masalah:
 (1)Bagaimanakah penggunaan Indirect Evidence dalam proses pembuktian menurut
sistem pembuktian di Indonesia?
(2) Bagaimana penggunaan Indirect Evidenceoleh KPPU dalam membuktikan adanya dugaan kartel di Indonesia?
     Jawaban atas permasalahan yang ada bahwa penggunaan Indirect Evidence/alat bukti tidak langsung dalam proses pembuktian menurut sistem hukum pembuktian di Indonesia dapat digunakan sebagai alat bukti. Kedudukannya sebagai alat bukti tambahan. KPPU perlu mendapatkan alat bukti lainnya untuk memproses permasalahan hingga didapat suatu kesimpulan akhir atas adanya dugaan pelanggaran atau tidak atas UU No. 5 tahun 1999. Alat bukti tidak langsung tidak dapat digunakan sebagai alat bukti satu-satunya di dalam persidangan yang dilakukan oleh KPPU. Cara penggunaan Indirect evidence telah dikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam putusan kasasi yang diajukan oleh KPPU atas pembatalan oleh Pengadilan Negeri Penggunaan Indirect Evidence oleh KPPU sebagai alat bukti awal indikator terjadinya kartel yaitu dengan menggunakan metode analisis ekonomi. Analisis ekonomi dalam beberapa kasus digunakan sebagai alat bukti awal diketahui bahwa ada dugaan praktik kartel. Analisis ekonomi ini berupa analisis dengan menggunakan faktor struktural dan faktor perilaku.

PENDAHULUAN
     Didunia terdapat tiga macam sistem ekonomi yang dianut oleh negaranegaradi belahan bumi ini.  Sistem ekonomi liberal, sosialis dan campuran.Indonesia memilih sistem ekonomi campuran.
     Negara sebagai pembuat kebijakan mengarahkan masyarakat untuk menjalankan persaingan usaha yang sehat. Hal ini untuk mendapatkan persaingan yang sehat tanpa ada keberpihakan pada golongan tertentu. Pasar yang membentuk harga secara alamiah. Khusus bagi perekonomian Indonesia, campur tangan pemerintah dapat dilakukan. “Perekonomian Nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi”.
      Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengatur mengenai berbagai larangan bagi tindakan yang menyebabkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dari kegiatan maupun perjanjian diatara para pelaku usaha salah satunya kartel. Menurut ketentuan dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, perjanjian kartel dibuat oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Perjanjian Kartel terjadi antara satu pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menghilangkan persaingan diantara keduanya.
     Proses Pembuktian Dalam Hukum Perdata yang dicari adalah kebenaran formil. Pencarian kebenaran materiil untuk membuktikan bahwa adanya akibat dari persaingan usaha tidak sehat tersebut, diperlukan keyakinan KPPU bahwa pelaku usaha melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang menyebabkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Keyakinan itu didapat dengan cara memastikan kebenaran atas laporan dan inisiatif KPPU atas dugaan terjadinya praktek kartel dengan cara melakukan penelitian, pengawasan, penyelidikan, dan pemeriksaan. Undang-Undang Nomor5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha TidakSehat dalam pasal 42 disebutkan ada lima alat bukti yang dapat digunakan bagiKomisi Pengawas Persaingan Usaha yaitu; keterangan saksi, keterangan ahli,surat dan atau dokumen, petunjuk dan keterangan pelaku usaha. Dalam KUHAPdan HIR alat bukti langsung tersebut diajukan masing-masing dalam pasal 184dan 164.
     Terdapat beberapa permasalahan yang timbul dengan penggunaan Indirect Evidence dalam indikasi kartel. Dalam pedoman pasal 11 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan usaha disebutkan bahwa “KPPU harus berupaya memperoleh satu atau lebih alat bukti”.2 Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa satu alat bukti cukup untuk menindaklanjuti laporan ataupun dugaan adanya indikasi kartel. Hal ini bertentangan dengan Hukum acara pidana. Hukum pidana menyatakan “satu bukti bukan bukti” (unus testis nullus testis). Minimal alat bukti yang sah menurut KUHAP, yaitu dua alat bukti. Ketidaksesuaian hukum pembuktian antara ketentuan pembuktian yang ada dalam hukum acara pidana dan hukum persaingan usaha yang kemudian menjadikan latar belakang penulisan skripsi. Hukum acara pidana menggunakan Direct Evidence sebagai bukti utama dalam hukum acara pidana, sedangkan Indirect Evidence yang menjadi dasar utama pembuktian di dalam hukum persaingan usaha. Penulis merasa tertarik meneliti permasalahan ini dalam suatu penelitian dengan judul “Penggunaan Indirect Evidence Oleh KPPU Dalam Proses Pembuktian Dugaan
Praktek Kartel Di Indonesia”.
     Ketidaksesuaian sistem pembuktian antara hukum acara pidana, hukumacara perdata dan hukum acara persaingan usaha ini yang kemudian menjadikanpenulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian dan penulisan dalam skripsi yang berjudul “Penggunaan Indirect Evidence Oleh KPPU Dalam Proses Pembuktian Dugaan Praktek Kartel Di Indonesia”.


Nama  : Angga Priyambada
Npm   : 28211642
Kelas  : 2EB08

Review Jurnal Hukum Perdata 2



HALAMAN PENGESAHAN KAJIAN TERHADAP HAK MEWARIS ANAK ANGKAT DIDASARKAN HIBAH WASIAT MENURUT HUKUM PERDATA.
( Studi di Pengadilan Negeri Jakarta Timur )


Penulis     : FERZA IKA MAHENDRA, S.H.
                 UNIVERSITAS DIPONEGORO
                 SEMARANG
Sumber    : http://eprints.undip.ac.id/17405/1/FERZA_IKA_MAHENDRA.pdf


            BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG

    Manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang paling mulia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup
menyendiri atau terpisah dari kelompok manusia lainnya. Menurut Aristoteles seorang ahli pikir Yunani yang di sadur dalam buku C.S.T .Kansil menyatakan : “Bahwa manusia itu adalah Zoon Politicon, artinya bahwa manusia itu sebagai mahluk hidup pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesamamanusia lainnya. Jadi mahluk yang suka bermasyarakat. Oleh karena itu sifatnya yang suka bergaul satu dengan yang lain, maka manusia disebut mahluk sosial”.
    Manusia sebagai individu (perseorangan) mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri, namun manusia sebagaimahluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat karena manusia semenjak lahir, hidup berkembang dan meninggal dunia selalu didalam lingkungan masyarakat, karena hidup bersama merupakan suatu gejala yang biasa bagi seorang manusia, dan hanya manusia-manusia yang
memiliki kelainan-kelainan sajalah yang mampu mengasingkan diri dari orang-orang lainnya. Dalambentuknya yang terkecil hidup bersama itu dimulai dengan adanya keluarga.2
    Sudah merupakan kodrat manusia untuk hidup berdampingan sesama manusia dan berusaha untuk meneruskanketurunan dengan cara melangsungkan perkawinan.
    Perkawinan adalah tempat bagi manusia untuk mengabdikan diri satu dengan yang lain dan saling menghormati perasaan serta merupakan tali ikatan yang melahirkan keluarga sebagai dasar masyarakat dan Negara. Guna mewujudkan kesejahteraan dan kebahagian masyarakat, perlu adanya landasan yang kokoh dan kuat sebagai titik tolak pada masyarakat yang adil dan makmur. Dalam hal ini, Pemerintah telah mengeluarkan beberapa Peraturan – Peraturan dan Undang – Undang yang mengatur tentang perkawinan terutama Undang – Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga Negara.


Nama : Angga Priyambada
Npm  : 28211642
Kelas : 2EB08

Review Jurnal Hukum Perdata 2


HALAMAN PENGESAHAN KAJIAN TERHADAP HAK MEWARIS ANAK ANGKAT DIDASARKAN HIBAH WASIAT MENURUT HUKUM PERDATA.
( Studi di Pengadilan Negeri Jakarta Timur )


Penulis     : FERZA IKA MAHENDRA, S.H.
                 UNIVERSITAS DIPONEGORO
                 SEMARANG
Sumber    : http://eprints.undip.ac.id/17405/1/FERZA_IKA_MAHENDRA.pdf


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Tinjauan Umum Tentang Hukum Waris
Dasar Hukum Waris
Di dalam lapangan hukum kewarisan sampai sekarang masih bersifat pluralistis. Hal ini dikarenakan hukum waris merupkan hukum yang sifatnya sensitif yaitu menyangkut kehidupan seseorang yang erat hubungannya dengan budaya, suku bangsa, agama, sosial dan adat istiadat serta sistem kekeluargaan dalam masyarakat Indonesia, sehingga pembaharuannya lebih sulit dilakukan dari pada hal – hal lain yang bersifat lebih netral, seperti misalnya ketentuan mengenai perseroan terbatas, penanaman modal, dan sebagainya.
 Dengan demikian bidang hukum waris termasuk bidang hukum yang mengandung terlalu banyak halangan adanya komplikasi-komplikasi kulturil, keagamaan dan sosiologi3.
Selain itu terdapat beberapa masalah dalam pelaksanaan konsepsi hukum sebagai pembaharuan masyarakat. Di Indonesia dimana Undang –Undang merupakan cara pengaturan hukum yang utama pembaharuan masyarakat dengan jalan hukum berarti pembaharuan hukum terutama melalui perundang-undangan.

 II. Tinjauan Umum Tentang Hibah Wasiat
Pengertian Hibah Wasiat
Hibah wasiat merupakan suatu jalan bagi pemilik harta kekayaan semasa hidupnya menyatakan keinginannya yang terakhir tentang pembagian harta peninggalannya kepada ahli waris yang baru akan berlaku setelah si pewaris meninggal dunia.
Pembatasan Dalam Hal Membuat Hibah Wasiat
Menurut Hukum Barat (KUHPerdata) pembatasan dalam hal membuat hibah wasiat yaitu tentang besar kecilnya harta warisan yang akan dibagi-bagikan kepada ahli waris yang disebut “Ligitime Portie”, atau ”wettelijk erfdeel” (besaran yang ditetapkan oleh Undang-Undang). Hal ini diatur dalam Pasal 913-929 KUHPerdata.
     Ligitime Portie (bagian mutlak) adalah bagian dari harta peninggalan atau warisan yang harus diberikan kepada para waris dalam garis lurus, terhadap bagaimana si pewaris dilarang menetapkan sesuatu baik yang berupa pemberian (Hibah) maupun hibah wasiat (Pasal 913 KUH Perdata ).
     Dalam garis lurus keatas ( orang tua, kakek dan seterusnya ) bagian mutlak itu selamanya adalah setengah, yang menurut Undang – undang menjadi bagian tiap – tiap mereka dalam garis itu dalam pewarisan karena kematian.
     Perlu juga  diperhatikan bahwa anak luar kawin (anak angkat) yang telah diakui dijamin dengan jaminan mutlak,yaitu setengah dari bagian yang menurut Undang–
undang harus diperolehnya.
Seandainya tidak ada keluarga sedarah dalam garis lurus ke bawah dan ke atas serta tidak ada anak luar kawin yang telah diakui, maka hibah atau hibah wasiat boleh meliputi seluruh harta warisan.
     Apabila ketentuan – ketentuan mengenai bagian mutlak seperti yang dijelas kan diatas dilanggar, maka pewaris yang dijamin dengan bagian mutlak itu dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan supaya hibah atau hibah wasiat tersebut dikurangi, sehingga tidak melanggar ketentuan Undang – Undang khususnya KUHPerdata. Jadi peraturan tentang bagian mutlak ini pada hakekatnya merupakan pembatasan terhadap kebebasan orang membuat testamen

Cara Pengibahan Wasiat
Menurut Pasal 931 KUH Perdata,bahwa dalam pembuatan wasiat atau hibah wasiat dapat lakukan dengan tiga cara yaitu :
1. Testamen Rahasia (geheim)
2. Testamen tidak rahasia (openbaar)
3. Testamen tertulis sendiri (olografis), biasanya bersifat rahasia ataupun tidak

     Dalam Pasal 939 Ayat 2 KUH Perdata menerangkan bahwa kemungkinan saat si peninggal warisan menyatakan keinginan terakhirnya kepada Notaris tidak dihadiri oleh saksi-saksi dan Notaris menulisnya, jika hal ini benar maka sebelum tulisan Notaris ini dibacakan terlebih dahulu si peninggal warisan menyatakan keinginannya dengan singkat dan jelas di hadapan saksi-saksi.
Selanjutnya menurut Pasal 939 Ayat 3 KUH Perdata, tulisan Notaris ini baru bisa dibacakan dan dinyatakan terhadap si peninggal warisan, apakah benar bahwa pernyataan yang dibacakan itu adalah keinginan terakhir si wafat.
     Pengumuman dan pembacaan serta tanya jawab ini, harus dilaksanakan pula. Jika pernyataan si peninggal warisan sebelumnya sudah dinyatakan dihadapan saksi.Setelah itu akta Notaris tersebut ditandatangani oleh Notaris, si peninggal warisan dan saksi-saksi. Seandainya si peninggal warisan tidak dapat menandatangani atau berhalangan datang, maka dengan ini harus dijelaskan pada akta notaris dengan terperinci. Di samping itu harus pula dijelaskan bahwa pada akta notaris ketentuan-ketentuan selengkapnya yang dibutuhkan ini telah dilakukan semuanya.
     berdasarkan Pasal 935 KUH Perdata, bahwa si peninggal warisan diizinkan untuk menuliskan keinginan terakhirnya dalam surat di bawah tangan, maksudnya adalah tidak terdapatnya campur tangan seorang Notaris, namun dalam hal ini cuma mengenal penunjukkan orang-orang yang diwajibkan melaksanakan testamen (executeur testamentair), perihal pemesanan mengenai penguburan serta tentang penghibahan pakaian, perhiasan serta alatalat rumah tangga.


Nama : Angga Priyambada
Npm  : 28211642
Kelas : 2EB08